Sejakpenaklukan Malayu oleh Sriwijaya sekitar tahun 685 Masehi, memang tidak dijumpai nama Malayu disebut di dalam sumber tertulis. Kebangkitan kembali kerajaan Malayu barangkali diawali dengan serangan Rajendra Cola dari India kepada Sriwijaya pada tahun 1025 Masehi. Rajendra Cola sangat berambisi menaklukan pusat-pusat perdagangan di selat
KerajaanKerajaan Hindu-Buddha di Indonesia - Pada postingan kali ini saya akan membahas tentang sejarah kerajaan Hindu-Budha di Indonesia.Sebenernya ini merupakan tugas sekolah, tapi tugas ini saya publikasikan di blog ini. Tujuannya adalah agar teman teman yang membutuhkan bisa mengambilnya disini. ok, berikut adalah kerajaan kerajaan hindu budha di indonesia.
Berasaldari masa sekitar 2500 SM, prasasti Ebla memberikan keterangan teramat penting mengenai sejarah agama-agama. Sisi terpenting mengenai prasasti Ebla, yang ditemukan para ahli arkeologi pada tahun 1975 dan yang sejak itu telah menjadi pokok bahasan dari banyak penelitian dan perdebatan, adalah terdapatnya nama tiga orang nabi yang disebutkan dalam kitab-kitab suci.
Prasastitersebut tertulis 604 saka (683 M). Dalam prasasti tersebut isinya menerangkan bahwa seorang bernama Dapunta Hyang mengadakan perjalanan suci (siddhayatra) dengan menggunakan perahu. Ia berangkat dari Minangatamwan dengan membawa tentara 20.00 orang hingga di Upang (Palembang). Di sana ia mendirikan vihara. Halaman Selanjutnya
ReadKadatuan Sriwijaya Perjalanan Suci by Perpustakaan Santo Thomas Ciledug on Issuu and browse thousands of other publications on our platform. S
PenaklukanJambi oleh Sriwijaya sendiri telah terbukti dari pernyataan I-tsing tahun 685 Masehi saat pulang dari India dan mengatakan bahwa Jambi (Kerajaan Melayu) sudah menjadi bagian dari
KerajaanSriwijaya - merupakan salah satu kerajaan bercorak Hindu-Buddha yang pernah berdiri di Pulau Sumatra. Kerajaan ini terletak di sekitar Palembang, ditepian Sungai Musi, Sumatra Selatan. Berdasarkan sumber sejarah mengenai bukti awal keberadaan kerajaan Sriwijaya beradasa dari abad ke-7, seorang pendeta Tiongkok dari Dinasti Tang, I
MaknaFilosofi Prasasti Talang Tuwo. Secara lebih mendalam, prasasti Talang Tuwo harusnya menjadi tolak ukur dalam pengelolaan lahan gambut, termasuk Sumsel yang memiliki gambut sekitar 1,4 juta hektare. Terlebih kebakaran hutan dan lahan kerap terjadi setiap musim kemarau tiba. "Restorasi lahan gambut yang rusak perlu dilakukan.
jLCfkr. feryfery358 feryfery358 Sejarah Sekolah Menengah Pertama terjawab • terverifikasi oleh ahli Iklan Iklan Michaelsj Michaelsj Prasasti kota kapurKlo salah saya minta maaf ya salah bukan kota kapur jawabannya Berita tentang penaklukan Jambi dan Sriwijaya Tertulis dalam Prasasti … makasii game burik dimainin yuk Iklan Iklan Pertanyaan baru di Sejarah Keistimewaan pulau pinang terhadap british Apakah perkara yang boleh kita lakukan agar warisan sumber primer tidak dilupakan? Banyak orang yang keluar dari kepemimoinan abu bakar penyebabnya antara lain nilai sin 180°+a sama dengan nilai...a. -sin ab. -cos ac. sin-ad. sin ae. cos a 47. Sebutkan beberapa kebijakan yang dilakukan Shalahudin Al Ayybi dalam membangun pemerintahan! Sebelumnya Berikutnya Iklan
- Sriwijaya dalam historiografi Indonesia lebih dikenal sebagai suatu emporium maritim nan mapan. Menimbang pengaruhnya yang merambat ke berbagai pulau di Indonesia bagian barat, Muhammad Yamin kemudian menyebutnya sebagai Negara Nasional Jilid I. Yamin—juga para sejarawan pelanjutnya di zaman Orde Baru—juga menggabungkan sejarah Sriwijaya dalam satu wacana yang dikenal sebagai Persatuan 6000 Tahun Indonesia Agenda itu lantas dikritik oleh M. Wood dalam Sejarah Resmi Indonesia versi Orde Baru dan Para Penentangnya 2013. Wacana glorifikasi sejarah yang berlebihan semacam itu memang punya sisi negatif. Salah satunya adalah terpinggirkannya narasi-narasi kecil Sriwijaya yang juga penting untuk dipelajari. Misalnya, bagaimana penguasa Sriwijaya menyikapi barang psikotropika dan perilaku bermadat. Para datuk Sriwijaya adalah sosok yang gemar sekali mengutuk. Kutukan atau sapatha yang mereka lontarkan bahkan jamak tercatat dalam prasasti. Tengoklah beberapa prasasti tinggalan Sriwijaya yang ditemukan di daerah Palembang, Bangka, Jambi, dan Lampung. Namun, itu kutuk bukan sembarang kutuk. Kutukan yang disampaikan oleh datuk Sriwijaya umumnya berkenaan dengan hukuman bagi sesiapa yang melanggar aturan bermasyarakat atau mencederai kesetiaan kepada kerajaan. Termasuk salah satunya soal candu. Buktinya terdapat dalam Prasasti Kota Kapur dan Karang Brahi 686 M. Dua prasasti yang masing-masing ditemukan di Pulau Bangka dan Jambi itu memuat inskripsi berbunyi “Tathāpi savaňakňa yaŋ vuatňa jāhat. makalaṅit uraŋ. Makasākit. Makagīla. Mantrā gada. viṣaprayoga. upuḥ tūva. Tāmval. Sarāŋvat. ityevamādi. jāṅan muaḥ ya siddha. Pulaŋ ka iya muaḥ. Yaŋ doṣāňa vuatňajāhat inan. Tathāpi nivunuḥ ya sumpah...” Bila diterjemahkan, isinya akan berbunyi “Lagi pula biar semua perbuatannya yang jahat, seperti mengganggu ketentraman jiwa orang, membuat orang sakit, membuat orang gila, menggunakan mantra, racun, memakai racun upas dan tuba, ganja, saramvat ?, pekasih, memaksakan kehendaknya pada orang lain dan sebagainya semoga perbuatan itu tidak berhasil dan menghantam mereka yang bersalah melakukan perbuatan jahat itu, biar pula mereka mati kena kutuk.” Kata Melayu Kuno tāmval yang biasa diartikan sebagai ganja di dalam kedua prasasti itu berakar dari bahasa Sanskerta “tāmbala”. Kata tāmbala sebenarnya lebih merujuk pada olahan ganja yang disebut hasis, bukan ganja kering yang lebih sering ditemui di masa sekarang. Hasis merupakan bubuk daun ganja yang diolah hingga menjadi seperti adonan dodol. Para penggemar hasis di masa lalu mengonsumsinya dengan cara dibakar dan diisap menggunakan cangklong atau diuapkan melalui bong. Meski perilaku memadat dikutuk habis oleh raja-raja Sriwijaya, nyatanya kutukan itu tidak berlaku untuk semua orang. Ada golongan-golongan tertentu yang lepas dari larangan itu dengan alasan khusus. Ganja dalam Ritual Keagamaan Golongan khusus yang dimaksud kemungkinan adalah para penguasa dan pemangku agama. Pasalnya, bahan-bahan psikotropika sudah lama menjadi primadona bagi beberapa agama di dunia, termasuk agama Hindu dan Buddha yang sempat menjadi arus utama kepercayaan masyarakat Nusantara di masa klasik. Di India, olahan tanaman dari rumpun Cannabis itu sudah lama lekat dengan ritual keagamaan. Hal itu dapat dilacak dalam teks berbahasa Indo-Eropa tertua di anak benua itu, Rig-Veda. Menurut Mark S. Ferrara dalam “Peak-experience and the Entheogenic Use of Cannabis in World Religions” yang terbit dalam Journal of Psychedelic Studies 2020, praktek shamanisme dalam Rig-Veda sering menunjukan adanya simbolisasi dari proses kematian dan kebangkitan. Dalam proses itu, sang resi atau pendeta yang diagungkan menjalankan beberapa laku, seperti berpuasa, menahan hawa nafsu birahi, memanipulasi pernapasan, membaca mantra secara repetitif, dan mengonsumsi psikotropika. Karena ganja memang tumbuh subur di India, tumbuhan berdaun jari itu kemudian menjadi pilihan terdepan dalam upacara-upacara yang tujuan akhirnya adalah mencapai trance kondisi tidak sadar. Dalam ajaran Veda pra-Hindu, sambung Ferarra, dikenal istilah soma yang dianggap sebagai “makanan surgawi” yang bumbunya dirahasiakan. Setelah ditelusuri lebih lanjut, salah satu bahan utama soma adalah hasis. Soma disajikan kepada para resi sebelum upacara penyatuan manusia dengan para dewa unsur alam dilakukan. Para resi melakukan ritual ini demi terkabulnya pengharapan akan beberapa hal, seperti menangkal roh, menyembuhkan penyakit, mendatangkan kesejahteraan, dan membuka jalan keselamatan. Sementara itu dalam Buddhisme, menurut Ferrara, konsumsi ganja baru benar-benar terlihat signifikan dalam praktik esoteris Vajrayana atau Tantrayana yang berkembang di Tibet. Teks Tantrik tertua yang menyebut soal penggunaan ganja adalah Yogaratnamala. Teks yang diasosiasikan dengan guru besar Buddha Vajrayana Nagarjuna itu merekomendasikan adanya proses mengisap ganja untuk “meruntuhkan para musuh”. Konsep ini berkenaan dengan proses pembebasan penganut Tantra dari kemelekatan duniawi yang dianggap sebagai musuh. Bagi mereka, yoga terbaiknya adalah melakukan prosesi trance melalui ganja. Pada perkembangannya, ganja kemudian makin populer sebagai suatu simbol keagamaan Tantra. Di titik ini, ganja disinonimkan dengan nama-nama Boddhisatva yang diyakini dalam Buddha Tantrayana. Dalam mitologi, ganja seringkali disebut sebagai Trailokyavijaya atau wujud ganas emanasi Buddha yang mengalahkan Dewa Siwa dan Parwati. Infografik Mozaik Ganja & Sriwijaya. Simbol Religio-Politik Para Datuk Kedudukan ganja dalam kepercayaan Hindu dan Buddha seperti diuraikan sebelumnya juga berlaku dalam masyarakat Sriwijaya. Sebagaimana disebut oleh George Coedes dkk. dalam Kedatuan Sriwijaya Kajian Sumber Prasasti dan Arkeologi 2014, berdasar informasi yang tersurat atau tersirat dalam prasasti dan tinggalan purbakala lain, para penguasa Sriwijaya lamat-lamat menampakkan ciri penganut Tantrayana. Maka boleh jadi mereka juga punya hubungan erat dengan ganja dalam praktik ritual Tantrayana. Lantas mengapa para datuk Sriwijaya justru mengutuk—atau bisa juga diartikan sebagai bentuk larangan—penggunaan ganja? Dalam konteks Sriwijaya, hal itu agaknya berkaitan dengan simbol religio-politik. Menurut M. Alnoza dalam “Konsep Raja Ideal Sriwijaya berdasarkan Sumber Tertulis” yang diterbitkan di jurnal Jumantara 2020, para datuk Sriwijaya memposisikan dirinya sebagai penganut laku Tantrayana yang sempurna. Para datuk Sriwijaya secara religio-politik berada di puncak hierarki dan tidak dapat disamakan dengan rakyat biasa. Karenanya, mereka memiliki hak istimewa untuk menggunakan ganja dalam ritual Tantrayana. Maka ganja bisa pula disebut sebagai bagian dari simbol politik eksklusif sekaligus simbol keagamaan yang melekat pada diri datuk Sriwijaya. Menilik hal ini, rakyat biasa tentu tidak bisa sembarangan mengonsumsi ganja. Dan melanggar aturan ini, seturut apa yang tertulis dalam prasasti, bisa dianggap sebagai bentuk pemberontakan terhadap sang datuk. - Sosial Budaya Kontributor Muhamad AlnozaPenulis Muhamad AlnozaEditor Fadrik Aziz Firdausi
Ragam peninggalan Kerajaan Sriwijaya masih bisa kita nikmati sampai detik ini. Seperti kita tahu, ketika masih bernama Nusantara, Indonesia memiliki banyak sekali kerajaan, dan Kerajaan Sriwijaya jadi salah satu yang terbesar. Kebesaran itu pun bisa kita ketahui lewat beragam peninggalan Kerajaan Sriwijaya. Ada banyak sekali bukti peninggalan Kerajaan Sriwijaya yang tersisa yang menjadi saksi bisu, sejarah panjang Indonesia. Salah satunya adalah candi peninggalan Kerajaan Sriwijaya seperti, Candi Muara Takus dan Candi Buaro Bahal III. Ada juga prasasti peninggalan Kerajaan Sriwijaya yang beberapa di antaranya, disebut memiliki kutukan. Sejarah Kerajaan Sriwijaya Berbagai bukti peninggalan Kerajaan Sriwijaya menjadi indikasi betapa besarnya kerajaan Hindu ini, pada masanya. Kerajaan maritim yang beribu kota di dekat kota Palembang ini membawa pengaruh yang besar hingga seantero kawasan Asia Tenggara. Tak heran jika peninggalan Kerajaan Sriwijaya bisa kita temukan di berbagai tempat di Asia Tenggara. Diyakini daerah Kekuasaan Kerajaan Sriwijaya meliputi Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Singapura, Semenanjung Malaka, Thailand, Kamboja, Vietnam Selatan, Kalimantan, Jawa Barat dan Jawa Tengah. Salah satu prasasti Kerajaan Sriwijaya yang cukup menggambarkan sejarah kerajaan tersebut adalah Prasasti Kedukan Bukit. Marieke Bloembergen Martijn Eickhoff dalam bukunya berjudul The Politics of Heritage in Indonesia A Cultural History menyebutkan bahwa prasasti peninggalan Kerajaan Sriwijaya itu ditemukan oleh seorang Belanda bernama Candi Peninggalan Kerajaan Sriwijaya Sebagai kerajaan dengan wilayah yang cukup luas, namun candi peninggalan Kerajaan Sriwijaya tidak begitu banyak ditemukan di luar Sumatra. Berbagai sumber sejarah menyebutkan ada tiga candi peninggalan Kerajaan Sriwijaya. 1. Candi Muaro Jambi Candi peninggalan Kerajaan Sriwijaya yang pertama adalah Candi Muaro Jambi. Kompleks candi Hindu-Budha ini disebut sebagai candi terluas di Asia Tenggara. Luas Candi Muaro Jambi disebut mencapai hektar, dan berlokasi di Kecamatan Maro Sebo, Kabupaten Muaro Jambi. Para arkeolog meyakini Candi Muaro Jambi didirikan antara abad 7 hingga abad 12 Masehi. Crooke, seorang letnan berkebangsaan Inggris diyakini sebagai orang yang pertama kali melaporkan adanya candi peninggalan Kerajaan Sriwijaya ini. Lebih tepatnya pada tahun 1824, ketika sang letnan sedang memetakan daerah aliran sungai di sekitar lokasi Candi Muaro Jambi. Lebih dari seratus tahun kemudian, tepatnya pada 1975, pemerintah Indonesia mulai bergerak melakukan pemugaran. Pemugaran Candi Muaro Jambi dipimpin oleh arkeolog Indonesia bernama Soekmono. Di dalam kompleks Candi Muaro Jambi, terdapat kurang lebih sembilan candi yaitu Candi Kotomahligai, Kedaton, Gedong Satu, Gedong Dua, Gumpung Tinggi, Telugu Rajo, Kembar Batu, dan Candi Astano. Sebagai candi peninggalan Kerajaan Sriwijaya terluas, Candi Muaro Jambi memiliki keunikan yaitu dengan hadirnya beragam ornamen dari berbagai budaya. Diyakini Candi Muaro Jambi jadi titik temu kebudayaan Persia, Cina hingga India. 2. Candi Muara Takus Candi Muara Takus merupakan candi peninggalan Kerajaan Sriwijaya yang berlokasi di Kecamatan XIII Koto Kampar, Kabupaten Kampar, Riau. Candi peninggalan Di dalam kompleks Candi Muara Takus terdapat beberapa bangunan candi yaitu Candi Sulung, Candi Bungsu, Mahligai Stupa dan Palangka. Mengutip dari Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, nama Candi Muara Takus diambil dari anak sungai Takus yang bermuara ke Sungai Kampar Kanan. Namun ada juga yang meyakini bahwa nama Takus diambil dari bahasa Cina yaitu Ta, Ku dan Se. Dalam bahasa Cina, Ta artinya besar, Ku yang berarti tua dan Se yang memiliki arti candi. Dari teori ini jika kata-kata tersebut digabungkan maka memiliki arti candi tua berukuran besar. 3. Candi Biaro Bahal Candi peninggalan Kerajaan Sriwijaya yang berikutnya adalah Candi Biaro Bahal, atau juga kerap disebut Candi Bahal atau Candi Portibi. Terletak di Desa Bahal, Kecamatan Padang Bolak, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatra Utara. Candi Bahal merupakan kompleks candi terluas di Sumatra Utara, seperti dilansir dari Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Dalam kompleks candi peninggalan Kerajaan Sriwijaya ini terdapat Candi Bahal I, Candai Bahal II dan Candi Bahal III. Menariknya, tidak diketahui secara pasti apakah candi peninggalan Kerajaan Sriwijaya ini merupakan candi Hindu atau Buddha. Jika melihat bentuk atap Candi Bahal I, terlihat nuansa candi Buddha, namun dari ragam arcanya malah kuat akan nuansa Hindu. Prasasti Peninggalan Kerajaan Sriwijaya Tak hanya candi, bukti peninggalan Kerajaan Sriwijaya juga ada yang berupa prasasti. Prasasti peninggalan Kerajaan Sriwijaya pun terbilang cukup banyak, dan cukup banyak memberi informasi terkait Kerajaan Sriwijaya itu sendiri. 1. Prasasti Talang Tuo Prasasti peninggalan Kerajaan Sriwijaya yang pertama adalah Prasasti Talang Tuwo atau Talang Tuo. Berbagai sumber menyebutkan bahwa prasasti peninggalan Kerajaan Sriwijaya ini ditemukan pada 17 November 1920 oleh Louis Constant Westenenk. Pada prasasti Talang Tuo tertulis angka yang menunjukkan tahun 606 saka atau 23 Maret 684 Masehi. Itu artinya prasasti ini berasal dari era Sri Jayanasa. 2. Prasasti Kedukan Bukit Di atas telah dijelaskan sekilas apa itu Prasasti Kedukan Bukit. Prasasti peninggalan Kerajaan Sriwijaya ini ditemukan oleh Batenburg pada 1920 di Kampung Kedukan Bukit, di tepi Sungai Tatang. Bentuk prasasti Kedukan Bukit berukuran kecil dan terdapat tulisan dengan aksara Pallawa, dengan bahasa Melayu Kuno. Prasasti peninggalan Kerajaan Sriwijaya ini berkisah tentang awal mula berdirinya Kerajaan Sriwijaya. 3. Prasasti Telaga Batu Ada dua Prasasti Telaga Batu, dan keduanya ditemukan di sekitar kolam Telaga Biru, Kota Palembang, Sumatra Selatan pada 1935. Prasasti peninggalan Kerajaan Sriwijaya ini dipahat di batu andesit dengan ukuran tinggi 118 sentimeter dan lebar 148 sentimeter. Ada kisah menarik dari prasasti peninggalan Kerajaan Sriwijaya yang satu ini. Prasasti Telaga Batu disebut sebagai prasasti yang isi tulisannya adalah kutukan. Lebih detail, kutukan tersebut ditujukan untuk siapa saja yang hendak berbuat jahat kepada Kerajaan Sriwijaya. Seorang filologi berkebangsaan Belanda, Johannes Gijsbertus de Casparis beranggapan bahwa orang-orang yang tertulis pada Prasasti Telaga Batu dianggap berbahaya bagi Kerajaan Sriwijaya. 4. Prasasti Karang Berahi Prasasti peninggalan Kerajaan Sriwijaya ini ditemukan oleh Berkhout di Batang Merangin, tepatnya di Desa Karang Berahi, Jambi. Diyakini prasasti Karang Berahi berasal dari abad 7 Masehi. Serupa dengan Prasasti Telaga Batu dan Prasasti Kota Kapur, Prasasti Karang Berahi juga berisi kutukan. Kutukan ditujukan kepada orang-orang yang hendak berbuat jahat dan tidak patuh terhadap pemerintahan Kerajaan Sriwijaya. 5. Prasasti Kota Kapur Memiliki bentuk tiang dengan tinggi 177 sentimeter dan lebar 32 sentimeter, Prasasti Kota Kapur disebut sebagai dokumen berbentuk tulisan tertua yang menggunakan bahasa Melayu. Prasasti Kota Kapur ditemukan oleh van der Meulen pada 1892, di Pulau Bangka. Prasasti peninggalan Kerajaan Sriwijaya ini kemudian dianalisis oleh ahli epigrafi asal Belanda bernama H. Kem. Seperti disebutkan sebelumnya, Prasasti Kota Kapur juga berisi kutukan, serupa dengan dua prasasti peninggalan Kerajaan Sriwijaya, yaitu Prasasti Telaga Batu dan Prasasti Karang Berahi. 6. Prasasti Ligor Prasasti peninggalan Kerajaan Sriwijaya ini ditemukan di wilayah Thailand Selatan, tepatnya di Ligor, atau sekarang dikenal dengan Nakhon Si Thammarat. Terdapat dua Prasasti Ligor, yang kemudian dinamai Prasasti Ligor A dan Prasasti Ligor B. Naskah dalam Prasasti Ligor A berisikan tentang raja Sriwijaya. Lebih lanjut, prasasti peninggalan Kerajaan Sriwijaya ini berkisah tentang raja Sriwijaya yang dianggap raja dunia, yang mendirikan Trisamaya caitya untuk Kajakara. Sementara itu, Prasasti Ligor B mengisahkan tentang raja bernama Visnu yang bergelar Sri Maharaja. Disebutkan Visnu berasal dari Dinasti Sailendra. 7. Prasasti Leiden Prasasti Leiden berisi tulisan berbahasa Sanskerta dan Bahasa Tamil. Prasasti peninggalan Kerajaan Sriwijaya ini tersimpan di Leiden, Belanda. Prasasti Leiden mengisahkan tentang hubungan Dinasti Chola dari Tamil dan Dinasti Sailendra dari Sriwijaya yang berjalan baik. 8. Prasasti Palas Pasemah Ditemukan di Desa Palas Pasemah, Lampung, prasasti peninggalan Kerajaan Sriwijaya ini ditulis dalam Bahasa Melayu Kuno dengan Aksara Pallawa. Prasasti yang terbuat dari batu ini menceritakan tentang kutukan kepada mereka yang tidak mematuhi peraturan di Kerajaan Sriwijaya. 9. Prasasti Hujung Langit Prasasti peninggalan Kerajaan Sriwijaya yang terakhir adalah Prasasti Hujung Langit. Prasasti ini ditemukan di desa Hakha Kuning, Kecamatan Balik Bukit, Lampung Barat. Sama seperti Prasasti Palas Pasemah, Prasasti Hujung Langit juga menggunakan Bahasa Melayu Kuno yang ditulis dalam Aksara Pallawa.